Kasus Pelecehan Seksual Meningkat Selama Covid-19, RUU PKS Malah Dicabut?
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari Januari hingga 19 Juni 2020 terjadi 329
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa.
Dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik
perempuan maupun laki-laki.
Seperti
halnya kasus pelecehan seksual yang terjadi pada salah satu pelanggan di kedai
kopi Starbucks. Pelecehan tersebut diketahui berdasarkan rekaman video
dari kamera pengawas atau CCTV di salah satu gerainya di daerah Jakarta Utara
yang diunggah dan kemudian viral di sosial media.
Di dalam
video tersebut, terlihat salah satu pegawai yang mencoba memperbesar ukuran
gambar video pada salah satu bagian tubuh pelanggan yang sedang duduk di kedai kopi
tersebut.
Tak pelak,
kasus ini pun berujung pada pemecatan pegawai yang terlibat dalam insiden
tersebut, yakni KH, seorang barista yang berada di dalam video dan DD yang
merekam dan mengunggahnya ke sosial media.
DD kemudian
ditetapkan polisi menjadi tersangka berdasarkan Pasal 45 Ayat 1 juncto
Pasal 27 Ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 1 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan terancam hukuman 6 tahun
penjara. Sedangkan KH dijadikan sebagai saksi atas kasus ini.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terdapat 15 bentuk kekerasan seksual dan kasus diatas dikategorikan sebagai pelecehan non-fisik oleh Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah saat dihubungi kompas.com.
”Pelecehan seksual kini berkembang. Pelecehan non-fisik lainnya, antara lain, mengintip, sexting (sex texting), dan pelecehan melalui gestur tubuh,” kata Siti yang dikutip dari kompas.com.
Karena tidak adanya
hukum yang mengatur tentang pelecehan seksual non-fisik menjadikan si korban menjadi
pihak yang lemah. Karena hukum yang mengatur kekerasan seksual di Indonesia
baru mencakup tindak perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan.
Maka
dari itu masyarakat kembali mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Ketua
DPP Nasdem, Lathifa Al Alshori turut menyikapi maraknya kasus pelecehan seksual
dan menegaskan bahwasanya RUU PKS sangat penting untuk disahkan.
“Seakan menjadi bukti akan urgensinya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang, untuk memberi efek jera bagi para pelaku," kata Lathifa dikutip dari kumparan.
Namun, meski sempat dijadikan prioritas di Program Legislasi Nasional (Proglenas) 2020, RUU PKS terancam dikeluarkan dari daftar dikarenakan usulan Komisi VIII DPR agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini.
"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR dikutip dari kompas.com.
Marwan
mengatakan, sejak periode lalu pembahasan mengenai RUU PKS masih terbentur
soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan terkait pemidanaan masih menjadi perdebatan.
Hal ini kemudian menuai kekecewaan dari masyarakat. Salah satunya Ketua BEM Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia
Tomohon (UKIT) Devona Tangel, mengatakan bahwa RUU PKS sangat penting untuk dijadikan
undang-undang.
“Dengan
dihapusnya RUU PKS ini menciptakan rasa pesimis bagi para korban untuk hidup di
negara yang katanya negara hukum,” ujar Devona dikutip dari beritamanado.com.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar