Polemik PPDB DKI Jakarta di Tengah Pandemi
Pandemi COVID-19 menimbulkan konflik baru. Di antaranya konflik
pengangguran karena perapatan sumber daya manusia, konflik keluarga, konflik
tempat peribadatan, konflik kebijakan-kebijakan pemerintah, hingga konflik
politik yang levelnya internasional seperti genjatan senjata.
Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan konflik kebijakan
pemerintah soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan tersebut dirasa
merugikan banyak pihak, dikarenakan tidak ada Ujian Nasional seperti
tahun-tahun sebelumnya yang menjadi salah satu pertimbangan masuk sekolah
selain zonasi.
Persoalan PPDB DKI Jakarta paling banyak mendapat sorotan.
Teknis pelaksanaan peserta didik baru berdasarkan Surat Keputusan Dinas
Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 tentang Petunjuk Teknis PPDB DKI Jakarta untuk
sekolah-sekolah negeri adalah berdasarkan usia, bukan jarak rumah calon peserta
didik ke sekolah di zona yang sama berbasis kelurahan domisili. Tahapan seleksi
berupa usia tertua akan didahulukan, urutan pilihan sekolah, dan waktu
mendaftar.
Kebijakan tersebut menuai protes dari para orangtua karena
dianggap diskriminatif. Selain itu, kebijakan PPDB DKI Jakarta berpotensi menyalahi
Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 Pasal 25 ayat 1 bahwa “Seleksi calon peserta
didik baru SMP (kelas 7) dan SMA (kelas 10) dilakukan dengan memprioritaskan
jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang sama”.
Aturan PPDB jalur zonasi DKI Jakarta hanya menyediakan 40
persen kuota. Sementara, dalam Permendikbud disebutkan kuota penerimaan jalur
zonasi sebanyak 50 persen.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dilansir dari cnnindonesia.com menuturkan apabila peraturan
yang ada dibatalkan akan memicu permasalahan lain yaitu konflik horizontal
antarorangtua anak yang diterima via jalur zonasi dengan anak yang tidak
diterima jalur zonasi.
Untuk mengatasi calon peserta didik yang belum diterima,
Dinas Pendidikan DKI Jakarta membuka PPDB zonasi bina RW. PPDB ini untuk calon
peserta didik baru yang berdomisili di RW yang sama dengan RW sekolah pilihan.
Semenjak adanya peraturan zonasi, setiap tahun PPDB memunculkan
polemik. Contohnya, pemalsuan kartu keluarga (KK) agar calon peserta didik bisa
diterima di sekolah favorit.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pengamat
Pendidikan Indonesia menyebut Permendikbud menerapkan sistem zonasi ‘setengah
hati’. Setiap daerah berbeda-beda dalam menerapkan sistem seleksi. Menurutnya,
Permendikbud harus dipertegas sehingga semua penerapan di daerah sama.
Kebalikannya, Kepala Ombudsman perwakilan Jakarta Raya,
Teguh Nugroho menilai aturan yang dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta tentang PPDB
sudah tepat.
“Terkait dengan ada beberapa perbedaan, Permendikbud memang
merupakan acuan, tapi tidak harus seluruhnya persis sama karena disesuaikan
dengan kondisi di masing-masing daerah”, katanya.
“Sebetulnya sekarang cukup berimbang, untuk anak berprestasi
ada jalur prestasi, untuk anak tidak mampu jalur afirmasi, dan untuk semua
orang ada jalur zonasi”, imbuh Teguh.
Kebijakan jalur zonasi bertujuan untuk menghilangkan julukan
sekolah favorit karena pada dasarnya semua siswa punya kemampuan dan kecerdasan
masing-masing tidak hanya di akademik saja.
Per 6 Juli 2020, peserta didik yang diterima di jenjang SMP
sebanyak 51 persen lebih, sedangkan jenjang SMA sebanyak 50,07 persen. (Fatikha)
Sumber:
Komentar
Posting Komentar